Karakteristik Hukum Islam

Hukum Islam mempunyai watak tertentu dan beberapa karakteristik yang membedakannya dengan berbagai macam hukum yang lain. Karakteristik tersebut ada yang memang berasal dari watak hukum itu sendiri dan ada pula yang berasal dari proses penerapan dalam lintasan sejarah dalam menuju ridha Allah. Dalam hal ini, beberapa karakteristik seperti hukum Islam bersifat sempurna, universal, kemanusiaan, mengandung moral agama, dan dinamis akan dijelaskan dalam bagian ini, karena tanpa dengan karakteristik tersebut akan dipahami pula tujuan dan manfaat dari hukum Islam itu sendiri.

Pertama, sempurna. Artinya syari’at itu akan selalu sesuai dengan segala situasi dan kondisi manusia, dimana dan kapanpun, baik sendiri maupun berkelompok. Hal ini didasarkan pada bahwa syariat Islam diturunkan dalam bentuk yang umum dan garis besar permasalahan, sehingga hukum-hukumnya bersifat tetap meskipun zaman dan tempat selalu berubah. Penetapan hukum yang bersifat global oleh al-Qur’an tersebut dimaksudkan untuk memberikan kebabasan kepada umat manusia untuk melakukan ijtihad sesuai dengan situasi dan kondisi ruang dan waktu.[1]

Kedua, Universal. Syari’at Islam meliputi seluruh alam tanpa ada batas wilayah, suku, ras, bangsa, dan bahasa. Universal ini pula tergambar dari sifat hukum Islam yang tidak hanya terpaku pada satu masa saja (abad ke-VII saja, misalnya), tetapi untuk semua zaman. Hukum Islam menghimpun segala sudut dan segi yang berbeda-beda di dalam suatu kesatuan, dan ia akan senantiasa cocok dengan masyarakat yang menghendaki tradisi lama atau pun modern, seperti halnya ia dapat melayani para ahli aql dan ahl naql, ahl al-ra’y atau ahl al-hadits.[2]

Ketiga, elastis, dinamis, dan fleksibel, dan tidak kaku. Karena hukum Islam merupakan syariat yang universal dan sempurna, maka tak dapat dipungkiri pula kesempurnaannya ini membuatnya bersifat elastis, fleksibel dan dinamis dalam perkembangan zaman, karena jika hukum Islam menjadi sesuatu yang kaku jutsru akan menjadikannya tak relevan pada masa atau ruang tertentu. Bila syariat diyakini sebagai sesuatu yang baku dan tidak pernah berubah, maka fiqih menjembatani antara sesuatu yang baku (syariat) dan sesuatu yang relatif dan terus berubah tersebut (ruang dan waktu).[3] Syari’at Islam hanya memberikan kaidah dan patokan dasar yang umum dan global. Perinciannya dapat disesuaikan dengan kebutuhan manusia, dan dapat berlaku dan diterima oleh seluruh manusia. Dengan ini pula dapat dilihat bahwa hukum Islam mempunyai daya gerak dan hidup yang dapat membentuk diri sesuai dengan perkembangan dan kemajuan, melalui suatu proses yang disebut ijtihad. Dalam ijitihad – yang menjadi hak bagi setiap muslim untuk melakukannya – merupakan prinsip gerak dalam Islam yang akan mengarahkan Islam kepada suatu perkembangan dan bersifat aktif, produktif serta konstruktif.[4]

Keempat, sistematis. Artinya antara satu doktrin dengan doktrin yang lain bertautan, bertalian dan berhubungan satu sama lain secara logis. Kelogisan ini terlihat dari beberapa ayat dalam al-Qur’an yang selalu menghubungkan antara satu institusi dengan institusi yang lain. Selain itu, syariat Islam yang mendorong umatnya untuk beribadah di satu sisi, tetapi juga tidak melarang umatnya untuk mengurusi kehidupan duniawi.[5]

Kelima, bersifat Ta’abuddi dan ta’aqulli. Warna Syari’at Islam dapat dibedakan dengan dua warna: yaitu ta’abuddi bentuk ibadah yang fungsi utamanya untuk mendekatkan manusia kepada Allah (وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ). Bentuk ibadah seperti ini sudah given, taken from granted, makna yang terkandung didalamnya tidak dapat dinalar, irrasional, seperti jumlah rakaat shalat. Sedangkan yang ta’aqulli adalah bersifat duniawi yang maknanya dapat difahami oleh nalar manusia, rasional.

Keenam, menegakkan Maslahat. Karena seluruh hukum itu harus bertumpu pada maslahat dan dasar dari semua kaidah yang dikembangkan dari seluruh hukum Islam harus bersimpul pada maslahat. Syariat berurusan dngan perlindungan maslahat entah dengan cara yang positif,misalnya dengan tindakan untuk menopang landasan-landasan mashalih, syariat mengambil tindakan-tindakan untuk menopang landasan-landasan mashalih tersebut. Atau dengan cara preventif, yaitu untuk mencegah hilangnya mashalih, ia mengambil tindakan-tindakan untuk melenyapkan unsure apa pun yang secara actual atau potensial merusak mashalih.[6]

Ketujuh, menegakkan Keadilan. Keadilan dalam arti perimbangan atau keadaan seimbang (mauzun) antonimnya ketidakadilan, kerancuan (at-tanasub), persamaan (musawah), tidak diskriminatif, egaliter, penunaian hak sesuai dengan kewajiban yang diemban (keadilan distributif), serta keadilan Allah yaitu kemurahan-Nya dalam melimpahkan rahmat-Nya kepada manusia sesuai dengan tingkat kesediaan yang dimilikinya.

Kedelapan, tidak Menyulitkan (‘adamul kharaj). Yang disebut dengan tidak menyulitkan adalah hukum Islam itu tidak sempit, sesak tidak memaksa dan tidak memberatkan. Di antara cara meniadakan kesulitan itu ada beberapa bentuk:

  1. Pengguguran kewajiban, yaitu dalam keadaan tertentu kewajiban ditiadakan seperti gugurnya kewajiban shalat jum’at dan gugurnya kewajiban puasa dibulan Ramadhan bagi orang yang sedang dalam perjalanan atau sakit.
  2. Pengurangan kadar yang telah ditentukan, seperti qashar shalat dari yang jumlahnya empat rakaat menjadi dua rakaat yaitu shalat Dzuhur, Ashar dan Isya’.
  3. Penukaran, yaitu penukaran satu kewajiban dengan yang lain, seperti wudhu atau mandi besar ditukar dengan tayammum., atau menukar kewajiban berpuasa di bulan Ramadhan dengan hari lain bagi orang yang mempunyai halangan puasa Ramadhan.
  4. Mendahulukan, yaitu mengerjakan suatu kewajiban sebelum waktunya hadir seperti shalat jama takdim, shalat Ashar yang dilaksanakan pada waktu Dzuhur, melaksanakan shalat Isya pada waktu shalat Magrib.
  5. Menangguhkan atau mentakhirkan kewajiban yaitu mengerjakan suatu kewajiban setelah waktunya tidak ada seperti shalat jama takhir. mengerjakan shalat Dzuhur diwaktu shalat Ashar atau mengerjakan shalat Magrib di waktu shalat Isya.
  6. Mengubah dengan bentuk lain, seperti merubah perbuatan shalat dengan shalat khauf karena alasan keamanan. atau mengganti kewajiban puasa bagi orang yang sudah tidak kuat lagi puasa dengan membayar fidyah.
  1. Menyedikitkan beban (taqlil at-takalif), yaitu dengan menyedikitkan tuntutan Allah untuk berbuat, mengerjakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya.

Kesembilan, berangsur-angsur atau tadrij. Hukum Islam dibentuk secara gradual tidak sekaligus. Diantara hukum Islam yang diturunkan secara gradual adalah shalat, pertama hanya dua waktu (Hud : 114)[7] kemudian tiga waktu (al-Isra: 78),[8] dan akhirnya lima waktu. Kemudian larangan riba, pertama hanya dikatakan sebagai perbuatan tercela (QS. al-Rum: 39),[9] kemudian riba yang dilarang adalah yang berlipat ganda (QS. Ali Imran: 130)[10] terakhir dikatakan haram secara mutlak (QS. al-Baqarah: 275, 278)[11]. Demikian juga dalam pelarangan minuman keras, awalnya hanya dikatakan bahwa madharatnya lebih besar dari manfaatnya (QS. al-Baqarah: 219),[12] kemudian larangan untuk mendekati shalat dalam keadaan mabuk (QS. al-Nisa: 43),[13] dan terakhir diharamkan secara mutlak bahkan dikatakan sebagai perbuatan syetan (al-Ma’idah : 90).[14]

Catatan kaki: 

[1] Fathurrahman Djamil, Filsafat Hukum Islam, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), h. 46.

[2] Hasbi ash-Shiddiqi, Falsafah Hukum Islam, h. 105-106.

[3] Muhammad Yusuf Musa, Al-Islam wa Hajat al-Inzan Ilaihi, h. 172.

[4] Fathurrahman Djamil, Filsafat Hukum Islam, h. 48.

[5] Joseph Schacht, Pengantar Hukum Islam. Penerjemah Joko Supomo, (Yogyakarta: Islamika, 2003), h. 300.

[6] Pendapat ini disadur oleh Muhammad Khalid Mas’uddari pendapat al-Syatibi. Lihat, Muhammad Khalid Masud, Filsafat Hukum Islam. Penerjemah Ahsin Muhammad. (Bandung: Pustaka, 1996), h. 244.

[7] وَأَقِمِ الصَّلَاةَ طَرَفَيِ النَّهَارِ وَزُلَفًا مِنَ اللَّيْلِ إِنَّ الْحَسَنَاتِ يُذْهِبْنَ السَّيِّئَاتِ ذَلِكَ ذِكْرَى لِلذَّاكِرِينَ

[8] أَقِمِ الصَّلَاةَ لِدُلُوكِ الشَّمْسِ إِلَى غَسَقِ اللَّيْلِ وَقُرْءَانَ الْفَجْرِ إِنَّ قُرْءَانَ الْفَجْرِ كَانَ مَشْهُودًا

[9] وَمَا ءَاتَيْتُمْ مِنْ رِبًا لِيَرْبُوَ فِي أَمْوَالِ النَّاسِ فَلَا يَرْبُو عِنْدَ اللَّهِ وَمَا ءَاتَيْتُمْ مِنْ زَكَاةٍ تُرِيدُونَ وَجْهَ اللَّهِ فَأُولَئِكَ هُمُ الْمُضْعِفُونَ

[10] يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لَا تَأْكُلُوا الرِّبَا أَضْعَافًا مُضَاعَفَةً وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

[11] وَفِي الرِّقَابِ وَأَقَامَ الصَّلَاةَ وَءَاتَى الزَّكَاةَ وَالْمُوفُونَ بِعَهْدِهِمْ إِذَا عَاهَدُوا وَالصَّابِرِينَ فِي الْبَأْسَاءِ وَالضَّرَّاءِ وَحِينَ الْبَأْسِ أُولَئِكَ الَّذِينَ صَدَقُوا وَأُولَئِكَ هُمُ

الْمُتَّقُونَ(177)يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِصَاصُ فِي الْقَتْلَى الْحُرُّ بِالْحُرِّ وَالْعَبْدُ بِالْعَبْدِ وَالْأُنْثَى بِالْأُنْثَى فَمَنْ عُفِيَ لَهُ مِنْ أَخِيهِ شَيْءٌ فَاتِّبَاعٌ بِالْمَعْرُوفِ وَأَدَاءٌ إِلَيْهِ بِإِحْسَانٍ ذَلِكَ تَخْفِيفٌ مِنْ رَبِّكُمْ وَرَحْمَةٌ فَمَنِ اعْتَدَى بَعْدَ ذَلِكَ فَلَهُ عَذَابٌ أَلِيمٌ

[12] يَسْأَلُونَكَ عَنِ الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ قُلْ فِيهِمَا إِثْمٌ كَبِيرٌ وَمَنَافِعُ لِلنَّاسِ وَإِثْمُهُمَا أَكْبَرُ مِنْ نَفْعِهِمَا وَيَسْأَلُونَكَ مَاذَا يُنْفِقُونَ قُلِ الْعَفْوَ كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمُ الْآيَاتِ لَعَلَّكُمْ

تَتَفَكَّرُونَ

[13] يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لَا تَقْرَبُوا الصَّلَاةَ وَأَنْتُمْ سُكَارَى حَتَّى تَعْلَمُوا مَا تَقُولُونَ وَلَا جُنُبًا إِلَّا عَابِرِي سَبِيلٍ حَتَّى تَغْتَسِلُوا وَإِنْ كُنْتُمْ مَرْضَى أَوْ عَلَى سَفَرٍ أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ

مِنَ الْغَائِطِ أَوْ لَامَسْتُمُ النِّسَاءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُمْ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَفُوًّا غَفُورًا

[14] يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالْأَنْصَابُ وَالْأَزْلَامُ رِجْسٌ مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

Leave a comment